Hits: 824

Beberapa Gereja hari ini menghabiskan banyak waktu, uang, dan tenaga memeras otak mencari metode-metode baru untuk pertumbuhan gereja. Fokusnya adalah metode dan organisasi, tetapi yang menjadi fokus Tuhan bukanlah metode atau seremonial keagamaan melainkan “orangnya”, yaitu orang yang mempersembahkan diri dengan segenap hati dan jiwa untuk melakukan kehendak Tuhan. Karena itu, ketika gereja mencari metode yang cocok, Tuhan justru mencari bejana – orang yang layak bagi-Nya.

Ringkasan bagian firman Tuhan hari ini adalah seruan keras dari nabi kepada bangsa Israel atas perintah Allah: nabi diperintahkan untuk menegur kemunafikan mereka (ay. 1). Gambaran tentang puasa yang benar dan salah (ay. 3). Deklarasi janji-janji kepada orang saleh (ay. 8).

Ibadah yang benar adalah menyembah di dalam roh dan kebenaran, sebaliknya secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Alkitab berkata: jauhilah mereka itu (2Tim. 3:5).

Secara lahiriah orang Yahudi mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan, tapi sesungguhnya hati mereka jauh daripada-Nya. Secara lahiriah mereka mematuhi ritual keagamaan, tapi mereka mengabaikan prinsip-prinsip dasarnya. Mereka berdoa dan puasa, merayakan hari sabat, membawa korban persembahan ke Bait Allah, menghadiri perkumpulan raya, bersama itu juga mereka melakukan berbagai kejahatan. Mereka mau melayani Allah tapi juga mau melayani Mamon, mereka mengaku menyukai terang sejati tapi tetap memilih hidup di dalam gelap, mau menerima semua yang ditawarkan oleh dunia ini, tapi juga ingin kerajaan Allah; ingin menikmati hak istimewa dari ketaatan, tapi tidak bersedia memikul tanggung jawab dan memaksa Tuhan harus mendengarkan doa mereka. Sudah sampai pada taraf demikian, bangsa Israel bukan saja tidak bertobat tapi malah bertanya kepada Tuhan: “Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga? (ayat 3).

Mereka berpikir dengan berpuasa dan merendahkan diri seperti ini, Allah dapat dipaksa untuk mendengarkan doa-doa mereka. Allah adalah Tuhan yang dapat melihat hati manusia. Mereka hanya menjalankan puasa secara ritual keagamaan, tapi tidak ada spirit puasa yang sebenarnya. Tuhan sangat jelas dengan kehidupan keagamaan mereka yang penuh kemunafikan, pada saat berpuasa mereka masih berbuat dosa. Oleh karena itu, Tuhan menjawab dan menunjukkan kejahatan mereka: “Sesungguhnya, pada hari puasamu, engkau mencari keuntungan sendiri dan memeras orang-orang upahanmu, kamu berbantah dan berkelahi dan bertindak dengan kekerasan. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi (ayat 3-4).

Orang-orang munafik ini berpikir bahwa melalui berbagai-bagai penderitaan fisik, akan membantu mereka untuk mendapatkan perkenanan Tuhan, mereka mengira dengan berpuasa dapat menebus dosa. Jelaslah bahwa orang-orang munafik ini tidak mengerti makna spiritualitas puasa dan perayaan hari sabat, sangkaan mereka asalkan ritual keagamaan dipatuhi mereka dapat melampiaskan hawa nafsu mereka, menindas orang miskin yang tidak berdaya. Manusia bisa menipu diri sendiri, tapi tidak bisa menipu Tuhan. Pikiran orang bebal tidak mengenal bahwa Allah adalah adil; Allah menuntut supaya anak-anak-Nya hidup benar. Esensi agama yang benar adalah keadilan, belas kasihan dan kerendahan hati (Mikha 6:8; Yes. 57:15).

Menurut catatan Tillotson, standar puasa dalam Perjanjian Lama mencakup enam hal: 1. Benar-benar tidak diperbolehkan makan. 2. Dengan rendah hati mengakui dosa kepada Tuhan, mencari keadilan Tuhan. 3. Sepenuh hati mencari wajah Tuhan – berkain kabung, duduk di atas abu. 4. Berdoa untuk diri sendiri atau orang lain. 5. Dengan hati berbelaskasihan memberi sedekah kepada orang miskin. 6. Hidup sesuai dengan doa dan sumpahnya.

Alasan puasa dalam Perjanjian Lama adalah: 1. Ekspresi duka yang mendalam. 2. Supaya Allah berpaling dari murka-Nya. 3. Menunjukkan pertobatan dan kesedihan karena dosa.

Yesaya 58 mengatakan bahwa puasa orang Yahudi adalah puasa yang salah, mereka telah mengurangi makna puasa itu menjadi formalitas keagamaan secara lahiriah, sehingga telah kehilangan makna yang sebenarnya. Yes. 58: 5 menunjukkan delapan dosa formalitas puasa secara lahiriah: ingin menunjukkan kepada Tuhan betapa rohaninya tapi kenyataannya betapa munafiknya mereka (V3), menyiksa diri dengan tidak makan (V3), Untuk memegahkan diri, mengganggap dirinya benar (V3), memeras orang-orang upahan (V3), berbantah dan berkelahi (V4), memaksa Tuhan mendengarkan doa mereka, melihat kesalehan mereka secara lahiriah (V4), menundukkan kepala seperti gelagah (V5) membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur (V5). Semua ini adalah puasa bersifat religiusitas.

Puasa yang ditetapkan Allah (V6), akan membuat orang hidup lebih mulia. Puasa yang benar seharusnya memiliki makna ibadah yang sesungguhnya di dalam kehidupan rohani, dengan perilaku yang nyata di dalam kekudusan hidupnya setiap hari. Seperti kehidupan rohani yang disebutkan di dalam Yes. 58:6-9: membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, membagi roti bagi orang yang lapar, terimalah orang-orang gelandangan di rumahmu, berilah pakaian kepada orang telanjang.

Esensi dari agama yang benar adalah keadilan, belas kasihan dan rendah hati. Tujuan yang sebenarnya dari puasa adalah untuk menyucikan hati orang dan mengubah kehidupan manusia. Mengubah hidup kita supaya memiliki hidup seperti Kristus yang menjadi berkat, memiliki belas kasihan dan kerendahan hati. Makna puasa adalah merendahkan diri. Mengintropeksi diri atas dosa-dosanya, melakukan hal yang berkenan kepada Tuhan, memperlakukan orang dengan kasih Tuhan. Karena Tuhan tidak mementingkan formalitas keagamaan, tapi mau kita mewujudkan kehidupan spiritualitas. Orang yang religiusitas hanya mementingkan seremonial ibadah keagamaan sedang orang yang spiritulitas akan mewujudkan kehidupan ibadah yang sesungguhnya. Jadi waspadalah, kapan kita sangat mementingkan penilaian orang atas penampilan luar kita, maka saat itu juga kita akan lebih mencintai diri sendiri lebih dari Tuhan.