Hits: 45

“Jangan membunuh” ini adalah larangan yang sangat jelas dalam hukum Musa, yaitu, perintah keenam “Jangan membunuh” (Kel. 20:13, Ul. 5:17). Dapat dikatakan bahwa itu sangat dilarang oleh hukum negara manapun di dunia. Menurut hukum Musa, pembunuh itu harus dihukum mati (Kel. 2:12, Im.24: 17,21). Kitab Ulangan juga secara jelas menyatakan isi yang berkaitan dengan pengadilan terhadap kasus sengketa (Ul. 17: 8-13).

Yesus Kristus tidak menyangkal kebutuhan dan nilai keberadaan hukum-hukum ini, tetapi sekarang Ia telah menyatakan tingkat yang lebih tinggi, yaitu, menggunakan “marah” sebagai standar untuk melihat hubungan antara manusia; Hukum Musa adalah menjatuhkan vonis setelah tindakan khusus, misalnya melukai pihak lain, yang meliputi harta benda milik pihak lain (Imamat 24: 17-22).

Tetapi standar yang dikemukakan oleh Yesus Kristus di sini adalah tindakan dalam pikiran secara internal sebagai standar – marah, jadi belum tentu selalu memiliki perilaku eksternal khusus. Namun, dalam hukum umum dunia, tidak ada posisi normatif hukum untuk mendefinisikan ruang lingkup atau definisi “kemarahan”, sehingga tidak mungkin memberikan penilaian yang spesifik. Jika kita membandingkan “marah” dengan bahagia ke tujuh yang Yesus Kristus katakan: ” Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” akan terlihat bahwa Yesus Kristus memberitahukan kita bahwa hukum manusia itu melihat dari luar, tetapi Allah melihat motivasi dari dalam hati, karena kemarahan di dalam hati adalah penyebab dari reaksi khusus yang mengarah pada perilaku eksternal! Contoh, Kain yang dilukiskan dalam Kej. 4, karena “marah” pada Allah (ay.6), pada akhirnya membunuh adiknya (ay. 8). Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram. Firman TUHAN kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? (Kej. 4:4-6).

Memang, jika dilihat dari kesehatan tubuh dan pikiran manusia: begitu orang marah, tubuh dan pikirannya akan jatuh ke dalam keadaan abnormal. Jantung berdetak lebih cepat, hormon-hormon dalam darah tidak selaras, tekanan darah juga meningkat, dll., menyebabkan perilaku dan tutur kata orang menjadi tidak normal dan di luar kendali, seperti halnya Kain. Terutama mengakibatkan kesalahan di dalam tutur kata. Mulut kita segera berubah menjadi kebun binatang dan tong sampah. Konsekuensi kemarahan adalah keluar kata-kata seperti Jahil dan kafir (Raca dan Moros), yang dikatakan oleh Yesus Kristus di sini, dapat diterjemahkan sebagai idiot, tolol, orang bodoh, tak berbudaya, barang tidak berguna, sampah, dll.. kata-kata yang penuh penghinaan, harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan dibuang ke dalam api neraka. Memang, rasa sakit karena perkataan jauh melampaui rasa sakit karena tindakan. Luka oleh pisau mudah disembuhkan, tapi luka karena perkataan sulit dipulihkan, dan kadang-kadang akan mempengaruhi orang selama hidupnya, yang disebut luka batin. Karena itu, Yesus Kristus memberikan peringatan yang penting dan tegas di sini (Mat. 5:23-26).

Yesus Kristus secara khusus membicarakan tentang hal mempersembahkan korban. Kita tahu bahwa mempersembahkan korban adalah bagian yang sangat penting dari kehidupan ibadah orang Israel (sebuah ritual yang wajib ada) Selain ucapan syukur, itu adalah ritual untuk memohon pengampunan dan penebusan dosa kepada Allah. Di sini Yesus Kristus menekankan bahwa karena permohonan untuk penebusan dan pengampunan dosa serta untuk diperdamaikan dengan Allah, maka hubungan dengan manusia harus ditata dan dibangun kembali sebelum membangun kembali hubungan dengan Allah. Kalau tidak, persembahan korban yang diberikan tidak ada artinya. Ini sejalan dengan isi ajaran Tuhan Yesus dalam Doa Bapa Kami “Ampunilah ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:12). Artinya jika saya tidak atau tidak dapat mengampuni orang lain, maka Engkau seperti saya juga tidak dapat mengampuni dosa-dosa saya.

Pada saat yang sama, kita harus segera berdamai dengannya, mengapa harus segera? Karena ketika saat ini lewat, kita tidak tahu kapan akan ada kesempatan lain, apalagi hidup manusia siapa yang yakin (mempunyai kepastian) bahwa detik berikutnya adalah milikmu, atau miliknya? Ini bukan hanya masalah perdamaian dengan manusia, tetapi hubungan dengan Tuhan juga demikian, diperdamaikan, penyembahan, pelayanan, dan persembahan (bertindaklah segera setelah berdoa dan berpikir). Jangan berkata pelan-pelan, tunggu sebentar.