Hits: 227

Untuk dapat dimerdekakan dari materialisme, terlebih dahulu perlu dikenali apa itu materialisme. Definisi materialisme. Pertama, Lexico (Oxford) menjelaskan materialisme adalah “kecenderungan untuk menganggap benda milik dan kesenangan fisik lebih penting daripada nilai-nilai yang rohani.” Kedua, KBBI V (daring) “pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra” Jadi dalam materialisme, materi (fisik) adalah hal yang paling penting dan yang segala sesuatu itu dalam kehidupan manusia dinilai dengan alam materi (kebendaan).

Materialisme dalam dunia (filsafat) Barat berakar pada kebudayaan Yunani. Filsuf Democritus menganggap bahwa semua bentuk kehidupan dalam dunia ini terbentuk oleh atom (elemen yang terkecil yang tidak dapat diuraikan [pandangan lama-penulis]). Bahkan menurutnya, jiwa pun terbentuk dan terdiri dari atom-atom dan persepsi manusia adalah hasil dari pergerakan atom-atom. Filsuf kemudian, Epicurus (meninggal 270 SM), adalah tokoh materialisme yang paling terkemuka dalam filsafat Yunani. Namun berbeda dengan Democitus, pandangan Epicurus mengandung aspek etika dalam wujud hedonisme. Hedonisme sendiri berarti “pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup” (KBBI V daring). Dalam zaman modern, Charles Darwin merupakan tokoh yang menggembangkan paham materialism dengan teori evolusinya. Fenomena materialisme dan hedonisme masa kini nampak dalam budaya yang menyarankan masyarakat untuk menilai segala sesuatu dengan standar materi (materialisme) dan bahwa yang utama adalah “menikmati hidup” khususnya secara materi dan pengalaman material (hedonisme).

Bagaimana menghadapi pengaruh paham dan budaya materialisme dan hedonisme? Pertama, menilai hidup bukan berdasarkan ukuran materi (fisik). Manusia adalah makhluk rohani selain makhluk jasmani, dan tidak bisa dipuaskan hanya dengan materi sebagai standar tertinggi. Sebagai makhluk spiritual, manusia tetap membutuhkan keberadaan hal rohani (Allah) dan pencipta mereka. Dalam perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Luk. 12:16-21). Yesus menegur orang kaya yang berpikir hidupnya dapat semata-mata mengandalkan pada hal jasmani, yaitu simpanan hasil panennya (Luk. 12:20).

Kedua, berlatih untuk membebaskan diri (menjaga jarak dengan) dari jeratan materialism dan hedonisme dengan dua cara: memiliki rasa cukup dan tidak menjadi pencinta uang. Paulus mengajarkan bahwa ibadah (kesalehan) disertai rasa cukup membawa keuntungan yang besar (1Tim. 6:6). Istilah “keuntungan” membuka topik mengenai kekayaan. Artinya rasa cukup, dan bukan kekayaan, menjadi kunci hidup yang berkenan kepada Allah. Rasa cukup menekankan “mencukupkan diri” (self-sufficiency-ketika kebutuhan belum tercukupi) dan “memuaskan diri” (self-contentment-ketika kebutuhan sebenarnya sudah tercukupi). Paulus juga mengatakan “asal ada makan dan pakaian, cukuplah” (ay. 8) Secara umum, kedua ini dikenal sebagai kebutuhan primer (basic needs). Dalam konteks sekarang, kebutuhan dasar mencakup juga papan (tempat tinggal), transportasi, sarana komunikasi.

Belajarlah “melepaskan diri” dari uang supaya kita tidak menjadi “pencinta uang”. “Cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan” (1Tim 6:10). Ketika kita tidak menjadi pencinta uang, kita membebaskan diri dari banyak kesusahan (ay. 9-10). Para pencinta uang akan menyiksa diri dengan berbagai duka dan bahkan menjauh dari iman. Selanjutnya, orang yang “mau menjadi kaya” (ay. 9) bukan berarti orang kaya pasti salah. Menjadi kaya dan ingin menjadi kaya bukan dosa. Dalam konteks 1 Timotius 6:6-10, peringatan ini berkaitan dengan orang kaya diperbudak oleh materialisme, yaitu orang yang “cinta akan uang”.