Hits: 95

Orang Israel sudah beberapa generasi tinggal di Mesir sebagai budak. Lamanya orang Israel diam di Mesir adalah empat ratus tiga puluh tahun, sejak Yakub dibawa oleh Yusuf. Kemudian mereka mendapat kelepasan secara ajaib oleh Tuhan untuk mendiami tanah pusaka yang sudah dijanjikan oleh Allah kepada Abraham, Ishak dan Yakub para leluhurnya. Mereka telah melihat proses pelepasan yang dilakukan oleh Allah, dengan menghukum Firaun dan rakyatnya lewat sepuluh tulah. Tulah pertama air Nil berubah menjadi darah dan tulah ke sepuluh kematian anak sulung. Pada waktu semua penduduk Mesir berkabung karena kematian anaknya, saat itulah umat Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan dipimpin oleh Musa.

Dalam perjalanan tersebut, awalnya mereka sangat menikmati penyertaan Tuhan yang dinyatakan dalam tiang awan dan tiang api, pemberian makanan secara ajaib oleh Allah, juga melihat dan mengalami di mana laut Teberau dibelah secara ajaib oleh Allah. Akan tetapi kenyataannya banyak dari mereka juga yang gugur di perjalanan. Mengapa? Apakah Allah sudah bosan dan tidak mampu lagi? Dalam ayat 4 dikatakan “bangsa itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan”. Mereka marah dan berontak kepada Tuhan yang telah memimpin mereka keluar dari Mesir melalui Musa. Kalau kita melihat kesaksian Alkitab, mereka marah dan melawan Allah tidak hanya sekali tetapi berkali-kali. Itulah sebabnya di dalam Bil 14 22-23 Tuhan berfirman: “Semua orang yang telah melihat kemuliaan-Ku dan tanda-tanda mujizat yang Kuperbuat di Mesir dan di padang gurun, namun telah sepuluh kali mencobai Aku dan tidak mau mendengarkan suara-Ku, pastilah tidak akan melihat negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka! Semua yang menista Aku ini tidak akan melihatnya.” Setiap kali mereka melawan Tuhan pasti ada yang dihukum mati, dengan cara digigit ular, penyakit sampar dan ditelan bumi (Bil. 16:31). Hidup yang melawan Tuhan, adalah hidup yang menuju kebinasaan.

Allah memberikan makanan dan air kepada mereka, tapi mereka menganggap hambar pemberian Tuhan atau tidak tahu berterimakasih atas kebaikan Allah. Ini sering terjadi di dalam kehidupan kita, ketika kita mendapat berkat dengan cara mudah, kita tidak begitu menghargai berkat tersebut. Kita baru menghargai berkat kalau itu adalah hasil kerja keras. Kepada bangsa yang tidak tahu bersyukur maka TUHAN mendatangkan ular-ular berbisa ke antara bangsa itu,  sehingga banyak dari orang Israel yang mati digigit ular.Namun ketika Allah melakukan keadilan, pada saat yang sama Allah juga menyatakan kasih-Nya, maka diperintahkan kepada Musa agar membuat ular dari tembaga dan menaruhnya di atas sebuah tiang. Setiap orang yang dipagut ular, bisa sembuh kalau memandang kepada ular tembaga itu (ayat 9). Di sini memandang itu berarti mengakui kesalahan dan pelanggaran. Di sinilah kesekian kalinya peristiwa penyaliban Tuhan Yesus diwartakan dalam Perjanjian lama lewat lambang.

Akhirnya di 2 Raj. 18:4 ular perunggu buatan Musa yang disebut Nehustan dihancurkan oleh raja Hizkia. Sebab, sampai pada waktu itu orang Israel masih membakar dupa untuk menghormati ular perunggu itu. Mengapa boleh dihancurkan, bukankah di padang gurun ular tembaga itu sungguh bermakna? Di padang gurun mereka memandang ular tedung itu karena perintah Tuhan, dan sebagai lambang nantinya bahwa juru selamat Yesus Kristus mati disalib. Jadi bukan ular tembaga itu yang menyembuhkan, tapi karena mereka percaya dan melakukan perintah Tuhan sehingga mereka selamat.