Hits: 135
Jika kita melihat kehidupan Abraham, dari Kej. 12:2 “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.” Karena dikatakan akan menjadi bangsa yang besar berarti harus beranakcucu yang banyak, barulah bisa menjadi bangsa yang besar. Waktu Abrham menerima janji ini ia sudah berumur tujuh puluh lima tahun, dan Sarai telah berumur enam puluh lima tahun, maka Abraham berpikir keponakannya Lot yang akan menjadi ahli warisnya. Tapi Lot telah pergi (Kej.13), maka harapannya tampak telah hancur. Tapi Allah segera mengulangi janji-Nya kepadanya dan secara rinci dikatakan: “Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmu pun akan dapat dihitung juga” (Kej. 13:15-16). Saat ini pandangan Abraham jatuh kepada Eliezer (Kej. 15:1-6). Tapi Allah secara khusus menegaskan bahwa “dari anak kandungnya, dialah yang akan menjadi ahli waris”, dan lebih jelas lagi dikatakan: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”
Abraham telah sepuluh tahun tinggal di Kanaan, tapi anak yang dijanjikan masih belum muncul sedang usia mereka berdua sudah lanjut, ia sudah berumur delapan puluh lima dan Sarai sudah berumur tujuh puluh lima tahun, apakah masih bisa hamil dan melahirkan anak? Maka Abraham mendengarkan saran Sarai, mengambil Hagar menjadi istrinya, meskipun waktu Ismail lahir Abraham sudah berumur delapan puluh enam tahun. Tapi Allah kembali berfirman : “Tidak, yang Allah kehendaki adalah anak yang dilahirkan Sara (Kej. 17:19). Jadi tertunda lagi sampai Abraham berumur Sembilan puluh Sembilan tahun. Allah kembali mengatakan kepada Abraham bahwa tahun depan Sara akan melahirkan seorang anak. Sejak peristiwa Hagar, Abraham tidak berani lagi berlagak pintar dan ia taat menanti perbuatan Tuhan. Sehingga mereka menanti lima belas tahun lagi. Ketika waktu Tuhan tiba maka apa yang dijanjikan Tuhan tergenapi. Pada akhirnya penantian Abraham akan janji Tuhan selama dua puluh lima tahun ada hasilnya. Ia telah berhasil dan lulus di dalam pelajaran menanti
Memang pada dasarnya pelajaran menanti bukan hal yang mudah, tapi hidup dan menanti memiliki hubungan yang tak terpisahkan atau tak terhindari. Misal: sejak datang ke dunia kita sudah mulai menanti, kelahiran, pertumbuhan dan yang disebut sandang, pangan, dan tempat tinggal manakah yang tidak perlu menanti? Memasak nasi, menggoreng ikan, memasak sayur… perlu menanti. Di dalam kehidupan ini hal manakah yang tidak perlu menanti? Hampir semua perlu untuk menanti. Kalau begitu, bagaimana kita tidak tahu bahwa proses hidup juga sama perlu menanti.
Namun meskipun kita semua sudah tahu penting dan perlunya kita menanti, tapi kita masih sering tidak sabar, dan tidak mau menanti sehingga menimbulkan banyak kekacauan, juga mengakibatkan banyak penderitaan yang tidak perlu. Seperti akibat menerobos lampu merah lalu lintas yang sering terjadi hari ini. Dalam Alkitab kita melihat Saul kehilangan kekuasaan raja karena ia tidak sabar menanti Samuel untuk memimpin persembahan korban (1Sam. 13). Dalam hal pembelajaran juga demikian, seperti yang disebut ingin cepat malah tak dapat. Murid Yesus Petrus juga, Tuhan Yesus mengatakan kepada para murid untuk menantikan Roh Kudus yang dijanjikan, tapi dalam kebodohannya ia mengusulkan undian pemilihan untuk mengisi kekosongan, dan Matias yang terpilih tidak punya prestasi apa-apa, akhirnya Tuhan sendiri memilih Paulus.
Demikian juga di dalam pelayanan. Mulai tahun tujuh puluhan gereja umumnya memprakarsai apa yang disebut “pertumbuhan gereja”, ini menyebabkan beberapa dekade muncul gelombang satu, gelombang dua gerakan karismatik, dengan banyak fenomena yang aneh-aneh dan memberi kesempatan untuk roh-roh jahat masuk dan membuat mana yang asli dan palsu sulit dibedakan. Lebih buruk lagi adalah menganggap Yesus Kristus hanya sebagai dewa yang lebih manjur saja.
Karena itu, menantikan Tuhan haruslah kuat dan teguh: “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! (Mzm. 27:14). Menantikan Tuhan – harus nantikanlah dengan sabar. “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia (Mzm. 37:7). Menantikan Tuhan – janji Bapa digenapi. “Pada suatu hari ketika Ia makan bersama-sama dengan mereka, Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di situ menantikan janji Bapa, yang — demikian kata-Nya — “telah kamu dengar dari pada-Ku. (Kis. 1:4). Abraham yang tahu bagaimana menanti akhirnya menerima apa yang dijanjikan Allah, ia menjadi bapa dari banyak bangsa, dan bapa orang beriman. Dan Mesias yang dijanjikan Allah berasal dari dia.