Hits: 527

Bangsa Israel dalam perjalanan menuju Gunung Sinai untuk mengikat perjanjian dengan Tuhan. Karena kunci keberlangsungan perjanjian adalah ketaatan, selama dalam perjalanan sejak keluar dari Mesir hingga ke Gunung Sinai, Tuhan melatih Israel untuk taat. Dalam episode perjalanan hari ini bangsa Israel telah telah tiba di Padang Gurun Sin. Program pelatihan ini berkaitan dengan makanan (roti) yang diberikan Tuhan kepada mereka, yang disebut Manna. Tujuan dari episode ini dinyatakan dengan jelas: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak.” (Kel. 16:4). Tujuan kisah dan pengalaman kali ini tetap adalah agar Tuhan mengetahui sejauh mana bangsa Israel taat kepada perintah-Nya sehubungan dengan pemberian manna dari Tuhan. Istilah “mencoba” adalah dalam arti untuk mengetahui dan melihat sejauh mana sikap ketaatan kepada Tuhan telah terbangun dalam diri Israel.

Bagaimana kejadiannya? Sampai di Padang Gurun Sin, orang Israel bersungut-sungut kepada Musa dan Harun karena tidak ada makanan. Karena sungut-sungut ini, Yahwe menyediakan makanan bagi mereka: burung puyuh pada sore hari dan (yang menjadi fokus dari penceritaan ini) makanan/roti Manna pada pagi hari (ay. 4, 12-13). Yahwe memerintahkan supaya setiap orang Israel mengumpulkan manna sesuai dengan jumlah jiwa yang ada dalam keluarga (seisi kemah) mereka di mana setiap jiwa mendapatkan segomer (ay. 16-18). Orang Israel melakukan apa yang diperintahkan Tuhan. Musa mengarahkan supaya bangsa Israel tidak menyisakan apapun sampai pagi dari yang diambil (dari pagi hari mereka ambil sampai pagi berikutnya-artinya, harus dihabiskan malam/hari itu juga; ay. 19-20). Tetapi ada yang tidak mendengar dan menyisakan sebagian. Pada pagi hari berikutnya, yang tersisa itu menjadi berulat dan berbau busuk. Selain itu, perintah Tuhan juga adalah mereka supaya mereka memungut setiap hari untuk kebutuhan sehari sekeluarga (sekemah) pada hari pertama hingga keenam. Pada hari ketujuh, mereka harus mengambil dua kali lipat karena hari ketujuh adalah hari perhentian penuh, hari Sabat yang kudus bagi Tuhan (ay. 23). Kebanyakan orang Israel menurutinya dan, ajaibnya, manna yang dikumpulkan pada hari keenam masih bisa dimakan dan tidak rusak pada hari ketujuh (ay. 24). Tetapi, sebagian Israel mungkin karena malas, lupa, dan tidak percaya kepada Tuhan (takut menjadi busuk dan berulat), tidak mengambil dua bagian pada hari keenam dan pergi keluar pada hari ketujuh untuk memungut manna tetapi tidak mendapatkannya (ay. 27). Tuhan pun menjadi murka (ay. 28).

Apakah pelajaran dari bagian pengalaman bangsa Israel ini?

Pertama, Tuhan ingin sikap taat dari bangsa Israel. Walaupun roti itu penting untuk kehidupan, Tuhan ingin bangsa Israel mengerti bahwa: “manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN.” (Ul. 8:3).

 Kedua, Tuhan ingin Israel hanya bergantung pada Dia saja. Tidak mudah bagi mereka untuk hidup berdasarkan pemberian Tuhan hari demi hari dan tidak memiliki persediaan untuk esok hari (bdk. sikap orang bijak; Ams. 10:5). Namun, mereka harus sadar bahwa hanya dari Tuhanlah kehidupan dan segala yang kita butuhkan sehingga tetap percaya kepada Tuhan.

Ketiga, Tuhan memberikan memberikan sabat kepada bangsa Israel. Hari Sabat adalah hari perhentian yang diberikan Tuhan kepada mereka supaya mereka dapat memiliki waktu istirahat dan dapat beribadah kepada Tuhan. Seperti halnya orang Israel, orang Kristen juga memiliki waktu untuk beribadah dan beristirahat, yaitu hari Minggu (hari Tuhan). Selain beribadah, sebagai orang Kristen, kita dapat beristirahat dengan keluar dari rutinitas dan melakukan hal-hal yang berbeda untuk diri kita, keluarga, sesama dan untuk melayani Tuhan.