Hits: 324
Dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam menghadapi pekerjaan, pelayanan, dan bahkan hidup kadang-kadang kita pernah merasa lelah, kecewa, frustrasi, biasanya apa faktor penyebabnya? Tentu saja, ada banyak penyebab, tapi salah satu faktor yang sering dilupakan adalah bahwa setelah kita menyelesaikan suatu pelayanan sepertinya tubuh dan pikiran kita terasa lelah ini adalah suatu reaksi yang tak terhindari, dan dalam situasi seperti ini kalau kita tidak hati-hati sering akan muncul banyak emosi negatif.
Mulai dari pasal 15 kita dapat melihat Abraham dalam keadaan depresi, dapat dikatakan ini disebabkan karena kelelahan fisik dan pikiran. Di pasal 14 kita melihat Abraham adalah seorang tokoh heroik, ia memimpin tiga ratus delapan belas orang-orangnya yang terlatih, yakni mereka yang lahir di rumahnya untuk mengejar dan membunuh empat raja yang menculik keponakannya Lot dan merebut kembali semua harta bendanya (14:10-14).
Namun perjalanan pulang pergi pada waktu itu setidaknya ada 600-700 kilometer, ditambah lagi harus bertarung dengan musuh di malam hari. Kini ia sudah kembali ke rumah, meskipun keponakannya telah berhasil diselamatkan, tetapi Abraham yang telah berusia lebih dari 80 tahun merasa lelah secara fisik dan pikiran itu adalah hal tak dapat dihindari. Allah sudah pasti melihat semua ini maka seperti sebelumnya Ia dengan sikap kebapaan-Nya datang untuk menghibur Abraham dan menegaskan janji-Nya kepada dia: “Anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” Tapi bagaimana jawaban Abraham? “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.” (ayat 2). Saat ini Abraham terlihat sudah mulai tidak sabar menunggu dan memberikan jawaban yang bernada keluhan. Puji Tuhan, Dia tahu ini adalah reaksi alami sifat manusia; Dia bukan hanya tidak menegur Abraham, sebaliknya Ia dengan penuh kebapaan membawa Abraham keluar dan berkata: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” Ini seperti mengatakan kepada Abrham: Ya, janji-Ku sudah puluhan tahun, bintang-bintang di langit tetap sama seperti dulu, apalagi Aku adalah Tuhan yang menciptakan semua ini, janji-Ku tidak akan pernah berubah, lalu Abraham segera sadar dan percaya kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.(ayat 5-6).
Tapi perjalanan iman Abraham tidak berhenti di situ, seolah setelah terima ijazah sudah tamat. Jika kita membaca terus maka kita akan menemukan ini hanya langkah pertama dalam perjalanan iman, perjalanan ini harus diteruskan, yaitu pelajaran menunggu.
Ketika Allah memanggil dia dan memberikan janji kepadanya, “Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kej. 12”1-3). Pada saat itu usia Abraham adalah tujuh puluh lima. Sarai lebih kecil sepuluh tahun, berarti sudah enam puluh lima tahun. Perjalanan iman Abrham dalam meresponi panggilan Allah satu per satu proses dapat dilewatinya, tapi di sini mau mengingatkan kita bahwa keberhasilan kita hari ini tidak menjamin kemenangan besok. Sembilan puluh sembilan kesuksesan tidak menjamin yang ke seratus pasti akan berhasil, karena jika kita teledor sedikit saja dan tidak waspada maka sering akan menyebabkan kegagalan.
Abraham karena tidak menunggu Tuhan memberikannya anak dan ia memutuskan untuk tidak menunggu waktu dan cara Tuhan, maka ini mengungkapkan beberapa hal:
Pertama, ia tidak memiliki kesabaran. Kedua, ia meragukan Allah, meskipun ia percaya kepada Tuhan akan memberinya seorang putra, tapi seiring waktu berlalu, ia merasa telah hilang kesempatan. Ketiga, ia sombong. Abraham berharap hal ini terjadi sesuai dengan jadwal mereka sendiri, dan menganggap cara dia lumayan baik. Terakhir, ia egois. Abraham bertindak tanpa pimpinan Tuhan, ini menunjukkan ia berharap kehendak Allah akan berputar di sekelilingnya. Kenyataannya, ia benar-benar telah di luar rencana Bapa.
Bertindak sendiri: 1. Ia mengira Lot dan Eliezer adalah ahli waris ideal. 2. Setelah menunggu sepuluh tahun, karena mendengarkan nasihat Sarai, ia menerima Hagar sebagai selir, untuk hal ini ia tidak menanyakan TUHAN. “Abram mendengar perkataan Sarai”. Akibatnya, menyebabkan tragedi keluarga, menjadi musuh turun-temurun.
Abraham bisa berbuat demikian: 1.melihat diri sendiri sudah tujuh puluhan tahun, kuatir jika terjadi sesuatu bukankah janji Tuhan tidak terwujud, mungkin mereka sendiri harus berusaha sedikit juga untuk mewujudkan janji Allah. Akan tetapi kehendak Allah bukanlah demikian: 1. ia harus menunggu lima belas tahun lagi maka janji Allah akan digenapi. 2. Akhirnya Abraham belajar pelajaran percaya kepada Tuhan sehingga bisa lulus ujian dalam hal mempersembahkan Ishak. 3. Anak cucunya memperoleh tanah Kanaan yang indah – menunggu sampai Yosua membagikan tanah ke semua suku. 4. Dan dalam waktu setelah dua ribu tahun janji keturunannya sudah tergenapi di atas diri Yesus Kristus (Kej.15:5); Seperti ada tertulis: “Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa” — di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.