Hits: 12
Tema khotbah hari ini masih merupakan lanjutan dari tema tentang penderitaan Kristus dan jemaat. Dalam 4:1-6, memang Petrus memberikan perintah “Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian” (ay. 1a). Orang Kristen harus merenungkan mengenai penderitaan Kristus dan siap menanggung penderitaannya. Penderitaan Kristus menjadi teladan bagi jemaat yang sedang menderita dan menjadi sumber kekuatan bagi mereka. Hal ini telah dibicarakan dalam khotbah-khotbah sebelumnya.
Firman Tuhan hari ini akan berfokus pada kalimat selanjutnya, “karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa , 2 supaya waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut keinginan manusia, tetapi menurut kehendak Allah.” (ay. 1b-2). Petrus menuliskan kalimat menarik, “barangsiapa yang telah menderita penderitaan badani telah berhenti berbuat dosa.” Apakah maksud kalimat ini? Apakah artinya orang Kristen (jemaat) yang telah/sedang menderita berbagai penganiayaan dari lingkungan masyarakat di mana mereka hidup tidak akan bisa berbuat dosa lagi selama hidupnya?
Ada tujuan khusus dari penyampaian kalimat “karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa” (ay. 1b). Petrus bertujuan mendorong jemaat agar hidup tidak lagi menurut keinginan manusia tetapi menurut kehendak Allah.” Secara spesifik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keinginan manusia” adalah berbagai keinginan dan hawa nafsu duniawi: “3 Sebab telah cukup banyak waktu kamu pergunakan untuk melakukan kehendak orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kamu telah hidup dalam rupa-rupa hawa nafsu, keinginan, kemabukan, pesta pora, perjamuan minum dan penyembahan berhala yang terlarang.” (ay. 3). Keinginan seperti ini disebut sebagai “kehendak orang-orang yang tidak mengenal Allah,” yaitu orang-orang dari latar belakang non-Yahudi. Berlawanan dengan pola hidup orang Yahudi, umat pilihan Allah, yang relatif baik/bermoral dan sesuai dengan kehendak Allah karena mereka hidup menuruti aturan-aturan hukum Taurat, orang-orang non-Yahudi cenderung hidup secara amoral dengan melakukan berbagai tindakan asusila, mengumbar hawa nafsu seksual dan hawal nafsu manusiawi lainnya (yaitu: kemabukan, pesta pora, perjamuan minum dan penyembahan berhala). Jemaat Petrus mayoritas adalah jemaat dari latar belakang orang non-Yahudi. Jadi, Petrus secara khusus menekankan agar dalam sisa waktu kehidupannya, jemaat tidak lagi hidup dalam berbagai hawa nafsu karena waktunya untuk itu sudah cukup. Mereka harus meninggalkan cara hidup yang bertujuan memuaskan keinginan manusiawi dan beralih pada kehidupan yang menurut kehendak Allah yang diwarnai dengan kekudusan dan kebenaran sesuai dengan firman Tuhan.
Melihat konteks tujuan untuk menasihati jemaat agar hidup benar dan kudus, ungkapan “karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa” (ay. 1b) bukan berarti bahwa orang percaya tidak akan bisa berbuat dosa lagi. Kalau orang Kristen tidak lagi memiliki kemungkinan untuk berbuat dosa, untuk apa Petrus memberikan nasehat dan dorongan yang demikian kuat? Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa karena orang Kristen telah menderita secara badani seperti halnya Kristus, hidup mereka tidak lagi dikuasai oleh keinginan berdosa dan mereka seharusnya menolak/melepaskan diri dari godaan untuk berbuat dosa. Dorongan untuk hidup kudus ini dilandasi oleh keyakinan bahwa orang Kristen bisa tidak berbuat dosa.
Alkitab mengajarkan kita untuk meninggalkan sikap hidup yang lama yang penuh dengan dosa (hawa nafsu, kemabukan dan berbagai keinginan daging/manusiawi) dan menjalani hidup yang menuruti kehendak Allah. Paulus mengatakan di Roma 12:1-2 yang merupakan dasar dari perlunya hidup menurut kehendak Allah. Kita yang percaya harus terus menerus mengalami pembaruan pikiran sehingga kita mau mencari dan mau melakukan apa yang menjadi kehendak Allah, “apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”