Hits: 1780

Mazmur 23 adalah Mazmur yang hampir setiap orang Kristen tahu juga bisa menghafalnya, dan disebut Mazmur mas di dalam Mazmur mas. Dan Mazmur 90 tidak sebanding Mazmur 23, paling-paling waktu kita memasuki tahun baru atau pada acara kebaktian tutup peti, kebaktian penghiburan dan pemakaman baru dibaca dan direnungkan. Sebenarnya, jika kita luangkan waktu untuk mempelajari Mazmur 90, maka kita akan menemukan bahwa jika Mazmur 90 dibandingkan dengan Mazmur 23 dari semua aspek tidak kalah juga. Hanya dilihat dari tahun penulisan saja, Mazmur 90 setidaknya 500 tahun lebih awal dari Mazmur 23. 400 tahun lebih awal dari Shi jing /Kitab syair Tiongkok (Abad ke 11 sampai 16). Mazmur ini disebut doa Musa, dan isinya sungguh menunjukkan kepribadian dan kerohanian Musa yang sangat agung, yang melampaui kategori dunia materi. Umumnya, apa yang orang cari tidak lebih dari apa yang disebut “Lima Berkat”: 1. Panjang umur, 2. Kekayaan, 3. Sehat sentosa, 4. Kebajikan, 5. Meninggal dengan tenang.

Mazmur 90:12: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Ini adalah pusat dari keseluruhan doa Musa. Mengapa Musa berdoa begitu? Apakah tokoh yang pintar dan agung seperti Musa tidak bisa menghitung hari, lewat 24 jam adalah satu hari, tujuh hari adalah satu minggu lagi, tiga puluh hari adalah satu bulan, dua belas bulan adalah satu tahun. ia hidup berapa tahun di dunia ini adalah berapa umurnya, cara perhitungan yang begitu sederhana masih harus minta diajarkan, tidakkah terlalu naif? Tentu saja, jika hanya dengan cara perhitungan seperti itu, setiap orang yang bisa matematika akan tahu cara menghitungnya. Dan yang dimaksud Musa bukan berapa hari, jam, bulan, tahun, bahkan berapa abad, tapi seperti yang dikatakannya: Ada arti khusus untuk hitungan ini. Yaitu “hingga kami beroleh hati yang bijaksana”.

Jika kita melihat pengalaman hidup Musa, dapat dikatakan bahwa selain akhir yang baik, yang lainnya: panjang umur, kekayaan, sehat sentosa, dan kebajikan semua telah dialaminya. Saat dia menulis puisi ini, bisa dikatakan bahwa dia sudah berumur seratus tahun. Empat puluh tahun kehidupan ia di istana kerajaan Mesir, dan selanjutnya beberapa dekade kehidupan di padang belantara, membuatnya dengan jelas juga mengalami kelima berkat ini dan baginya apalah arti semua ini! Hidup itu singkat, tidak pasti, apalah artinya? Adakah sesuatu yang bernilai kekal?

Sebaliknya, terlebih ketika usianya 40 tahun, dia pergi ke padang gurun untuk menggembalakan domba-domba dan memimpin bangsa Israel di padang gurun selama beberapa dekade; sekitar 80 tahun yang dilihatnya adalah pegunungan dan alam, yang masih berdiri tegak di sana; tapi ia melihat kembali peristiwa dalam kehidupan manusia, putri Firaun yang mengadopsinya, teman masa muda, rekan, kakak perempuan dan saudara laki-laki yang menjaganya, satu persatu telah tiada, bahkan ratusan ribu orang Israel yang bersama dia keluar dari Mesir, hampir semua telah berubah menjadi satu generasi baru. Terakhir hanya tinggal Yosua dan Kaleb. Tanpa sadar ia merasa di mana arti kehidupan manusia. Ayat 5 “Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, 6 di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu. 7 Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu, dan karena kehangatan amarah-Mu kami terkejut. 8 Engkau menaruh kesalahan kami di hadapan-Mu, dan dosa kami yang tersembunyi dalam cahaya wajah-Mu. 9 Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh. 10 Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap (Mzm. 90:5-10). Tapi syukur kepada Tuhan, meskipun demikian hidup manusia, ia menyadari akan satu kebenaran yang penting:

Dalam situasi seperti ini tiba-tiba ia menemukan, dalam kehidupan singkat yang dipenuhi dengan kesedihan dan penderitaan ini Engkau tempat perteduhan kami turun temurun, Allah kekal pencipta langit dan bumi. “Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun. Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (Mzm. 90:1-2).

Karena itu, ia telah melihat makna dan harapan hidup yang sebenarnya. Maka ia memanjatkan doa dan soraknya di ayat 13-17 Kembalilah, ya TUHAN — berapa lama lagi? — dan sayangilah hamba-hamba-Mu! Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami. Buatlah kami bersukacita seimbang dengan hari-hari Engkau menindas kami, seimbang dengan tahun-tahun kami mengalami celaka. Biarlah kelihatan kepada hamba-hamba-Mu perbuatan-Mu, dan semarak-Mu kepada anak-anak mereka. Kiranya kemurahan Tuhan, Allah kami, atas kami, dan teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya, perbuatan tangan kami, teguhkanlah itu (Mzm. 90:13-17).